Seperti diketahui, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau
KPR bersubsidi tidak akan diberikan lagi kepada rumah tapak setelah 31
Maret 2015. Subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ini
tetap ada, namun hanya untuk rumah susun sederhana milik (rusunami).
Kebijakan
tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan rumah
susun. Selain itu bertujuan agar tidak ada eksploitasi lahan pertanian.
Ketua
Umum Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Seluruh Indonesia (Ap2ersi)
Ferry Sandiyana mengatakan pihaknya meminta subsidi rumah sederhana
jangan dihilangkan. Pasalnya, subsidi sangat dibutuhkan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah untuk meringankan pembiayaan.
"Saya tidak
setuju subsidi rumah sederhana tapak ini dihapuskan karena akan
memberatkan bagi konsumen," ujarnya kepada wartawan, Kamis (8/5/2014).
Dia
memahami kebijakan ini dibuat karena harga tanah semakin mahal. Namun
hal ini hanya cocok diterapkan di kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya dan Bandung.
Kebijakan ini dianggap kurang cocok di
daerah yang persediaan tanahnya masih banyak. Sebagai gambaran, harga
tanah di Ciamis dan sekitarnya relatif terjangkau. "Kebijakan ini tidak
sesuai dengan kondisi di lapangan," katanya.
Menurutnya,
masyarakat masih lebih meminati rumah tapak dibandingkan rumah vertikal.
Rumah dengan ada halaman dianggap lebih menarik karena dapat digunakan
untuk bercocok tanam.
Penghapusan subsidi ini juga dianggap
bertentangan dengan kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak rakyat
terkait perumahan (papan). Bahkan kebijakan ini diperkirakan akan
menurunkan minat beli masyarakat.
"Saya khawatir penghapusan subsidi ini akan menurunkan minat masyarakat," bebernya.
Selain
penghapusan subsidi, kebijakan lain yang diterbitkan pemerintah juga
dianggap selalu membingungkan pengembang. Sebagai contoh, penjualan
rumah bersubsidi melalui skema FLPP selama 4 bulan pertama 2014 sempat
nihil.
Hal ini akibat Kementerian Keuangan belum menerbitkan
aturan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk harga rumah
subsidi yang baru, yang diusulkan Kemenpera.
Kondisi itu membuat
pengembang enggan membangun rumah sederhana karena margin yang
didapatkan sangat tipis. Namun, kondisi ini sedikit tertolong melalui
penetapan harga rumah berdasarkan wilayah.
Dalam Permenpera Nomor
3 tahun 2014, disebutkan untuk wilayah I antara lain di Jawa, Sumatera,
dan Sulawesi kecuali Jabodetabek harganya Rp88 juta menjadi Rp105 juta.
"Selama ini, kami menjual rumah sederhana yang stok lama saja," pungkasnya.
Sumber :
http://www.inilahkoran.com/read/detail/2098989/ap2ersi-keberatan-subsidi-rumah-sederhana-dihapus